Life is Bitch


Life is Bitch

Good Vibes




Bangsa Apa ini Sebenarnya?



Dari sisi alam nya tak ada sejengkal pun tanah yang tak bisa di tumbuhi tanaman, tanah ini begitu subur menjadikan bangsa kita makmur. Dalam lagu sebuah grup band sepuh dari tahun bahaeula berdendang "tanah kita tanah surga....Tongkat kayu dan batu jadi tanaman ", begitu indah hidup di negara yang makmur sejahtera seperti ini. 

Hei, anak muda maupun anak tua! Apa yang kau pikirkan tentang Bangsa Indonesia? Saya rasa tak ada bangsa lain di dunia ini yang kewajiban rasa syukurnya melebihi bangsa kita, "Bangsa Indonesia!" teriak penuh percaya diri. Atas semua yang diberikan oleh Tuhan kepada bangsa kita tidak sepatut nya kita bersedih dan berduka. 
"Lalu mengapa Indonesia masih mengimpor beras? " tanya para kritikus masa kini.
Indonesia menunjukan kepada dunia mampu menjadi importir beras meskipun lahan persawahan dan peradaban padi di tanah Jawa tidak ada tandingnya di dunia. Itu bukan karena orang Jawa ataupun bangsa kita pemalas dan bukan karena manajemen pemerintahan Indonesia bodoh, melainkan karena bangsa kita tidak perlu cemas: sewaktu-waktu bisa menanam padi sambil tidur dan memaneninya sambil mengantuk, hal ini sebagai wujud rasa syukur kepada Tuhan atas anugerah alam subur indah dari-Nya.

Bung Karno dulu berkunjung ke Mesir membawa  biji mangga yang kemudian menjadi salah satu sumber penghidupan penduduk Mesir. Sekarang omzet penghasilan mangga di Indonesia kalah dengan Mesir, karena memang Bangsa Indonesia tidak perlu ngoyo, sebab kita sudah kaya raya. (ngoyo: sikap terlalu memaksakan)

Dan dari sisi bangsa nya bangsa kita adalah bangsa bibit unggul, bahkan lebih dari itu: dalam konteks evolusi pemikiran, peradaban dan kebudayaan. Kita bangsa garda depan yang derap sejarahnya selalu berada beberapa langkah di depan bangsa-bangsa lain di muka bumi ini. Para pakar dunia di bidang ilmu sosial, ekonomi, politik dan kebudayaan, sudah terbukti "terjebak" dalam mempersepsikan apa yang sesungguhnya terjadi pada bangsa kita. Penduduk bangsa lain di penjuru dunia membayangkan bahwa bangsa kita adalah bangsa yang kumuh, banyak sekali mayat bergeletakan karena pembunuhan di jalanan dengan berbagai macam sebab, banyak orang mati karena busung lapar, dan menganggap Indonesia adalah kampung-kampung yang masih setengah hutan. Indonesia adalah negeri penuh duka dan kegelapan. Padahal di penjuru dunia tak ada orang yang bersukaria melebihi bangsa kita. Tak ada orang yang berjoget siang malam melebihi Bangsa Indonesia. Tak ada orang berpesta, tertawa-tawa, ngudud bus bas buss, jademan/jagongan, kenduri, serta berbagai macam kehangatan yang hanya bisa di temukan di Kepulauan Nusantara ini.

Penduduk dunia menyangka kita sedang mengalami krisis, padahal berita tentang krisis negara kita adalah salah suatu ungkapan "kerendahan hati". Penduduk bumi sering tidak mengerti tentang retorika budaya masyarakat kita. Jika kita bilang, "Silahkan mampir ke gubuk reyot saya", mereka menyangka yang kita punya adalah gubuk sebenarnya. Padahal rumah kita adalah istana, yang gubernur Australia dan menteri di Mesir pun tak sanggup mempunyai nya. Jika kita menawarkan, "Mari ikut ke gerobak saya, saya anter ke rumah panjenengan", tidak berarti kita menghina dia dengan menaikannya ke gerobak. Yang di maksud gerobak oleh pola perilaku kebudayaan bangsa kita sesungguhnya adalah Alpard ataupun Jaguar.

Kalau kita bilang, "Negara kita sedang krisis", itu semacam tawadlu sosial, suatu sikap yang menghindarkan diri dari sikap sombong, dengan kata lain adalah rendah hati. Kalau pemerintah kita terus berhutang triliunan dolar, itu strategi agar kita di sangka miskin. Itu taktik agar dunia meremehkan kita. Karena kita punya prinsip religius yang amat kuat bahwa semakin kita direndahkan oleh manusia, semakin tinggi derajat kita di hadapan Tuhan. Semakin kita dihina di muka bumi maka semakin tinggi posisi kita di langit. Piye mumet pora? hahaha.

Dulu ketika Gus Dur naik menjadi presiden RI, sejumlah orang luar negeri mengejek kita: apa dari 210 Juta penduduk negaramu yang mempunyai kemampuan menjadi Presiden sehingga harus mengangkat seorang tokoh yang (mohon maaf) tidak melihat? Begitupun ketika Megawati naik ke kursi tertinggi dengan sinis bangsa luar bertanya lagi: apakah di negaramu penduduk nya 99% adalah wanita dan 1% adalah pria? sehingga kau mengangkat wanita sebagai Presiden. 

Memang agak aneh memang bahwa bagsa-bangsa lain di luar Indonesia yang katanya lebih terpelajar dan lebih beradab, ternyata hanya memiliki pemikiran linier dan tingkat kecerdasannya sangat tidak bisa diandalkan. Mereka tidak punya fenomena budaya sanepa, misalnya. Juga tidak punya pakewuh. (sanepa: ungakapan pemaknaan konotatif dalam istilah Jawa); (pakewuh: sikap dan rasa sungkan dalam budaya Jawa). Masyarakat luar negeri juga tidak mempunyai filosofi "Padi itu makin matang makin menunduk kebawah".
Kita sebagai bangsa yang berkebudayaan tinggi dan berberadaban unggul tidak akan pernah memilih suatu sikap sosial gemedhe atau adhigang, adhigung, adhiguna (sikap mentang-mentang). Kita tidak akan pernah pamer keunggulan kepada bangsa lain, dan itulah justru tanda keunggulan budaya kita. Kita  tidak akan mencari kepuasan hidup melalui sikap mengungguli bangsa lain. Kita adalah bangsa yang memiliki kemuliaan  batin karena sanggup mempraktikan budaya andap ashor (sikap rendah hati dalam budaya Jawa).

Lalu apa lagi yang dukai? lalu apa lagi yang kau kurangi? kita ini ini lahir dan hidup di tanah yang hikayat nya jauh lebih dalam dari apapun. Hahahaha....



*inspired by Cak Nun

Budaya Nyeker




Nyeker dalam budaya di Tanah Air ini adalah kebiasaan untuk tidak memakai alas kaki ketika melakukan segala aktifitas. Di zaman sekarang sudah jarang sekali kita menemui budaya ini.  Pergaulan nasional kita tak menentukan kriterianya. Maka, supaya aman, sebenarnya kita adakan kebulatan tekad untuk nyeker saja. Bayangkan asyiknya semua orang nyeker, termasuk presiden dengan menterinya. Kecuali para tentara yang maju perang, perlu pakai sepatu, supaya kalau tendang-tendangan sama musuh tidak keseleo. 


image
Image by James Brooke

Toh kiai-kiai tak pernah pakai sepatu dan diterima dimana mana. Sepatu sandal itu cuma konvensi etika semata. Dan, etika bisa berubah ubah. Tidak mutlak dan abadi. Pada zaman Majapahit, perempuan memamerkan susu itu tidak boleh. Sekarang justru dianjurkan oleh moral industri budaya. Bahkan semakin berani buka-bukaan malah semakin laku dan laris.

Siapa tahu besok bumi semakin berjubel manusia dan kawasan hijau mulai habis, ada anjuran dari pemerintah untuk tidak usah memakai sandal atau sepatu demi untuk penghematan nasional. Saya setuju itu karena nanti di akhirat, kalau jalan jalan di surga tak perlu pakai alas kaki sandal atau sepatu cukup dengan nyeker. Hanya penghuni neraka yang membutuhkan alas kaki sandal atau sepatu untuk peredam panas. 





- Nara

Inspired by Cak Nun




-->